Judul :
Bolehkah aku memanggilmu Ayah?
Pengarang :
Chichi Sukardjo
Penerbit :
Gema Insani, 2004
Tebal :
142 halaman
Segala rutinitas yang mengantarkan aku pada kesibukan mengurus karier, uang, dan kekuasaan (pekerjaan), boleh jadi telah mengeraskan hatiku. Terlebih lagi jabatanku di perusahaan yang semakin strategis dan menuntut tanggung jawab besar. Aku sadari juga ternyata itupun menjauhkan diriku dari nilai-nilai ukhrawi yang sejak kecil ditanamkan oleh kedua orang tuaku. Dan, ternyata di satu masa, hal-hal yang berbau agamis hilang begitu saja digulung menjauh dari relung kalbu.
Saat ini, aku sudah berkeluarga dengan dua orang putra-putri yang boleh kubanggakan. Kata orang aku tampan dan brilliant. Istriku wanita karier yang tidak saja cantik dan pintar, tapi juga lemah lembut keibuan. Pendeknya, rumah tanggaku dikaruniai kebahagiaan. Alhamdulillah...
Selama ini banyak hal-hal yang bersifat sosial diurus dengan baik oleh istriku. Bantuan untuk anak yatim, rumah jompo, anak cacat, pembangunan masjid, sekolah, dan lain-lain. O ya termasuk mengalokasikan dana dari gaji kami untuk zakat, kurban, infak, dan sedekah. Aku sih tinggal menerima laporan saja. Pokoknya tugas utamaku adalah mencari uang. Karena bukankah hanya dengan uang kita bisa menyelesaikan semua masalah?
Walau kadang-kadang istriku mengingatkan aku agar tidak terlalu keras bekerja. Aku cuman tersenyum kecut. Memangnya dari mana semua kemewahan bisa diperoleh kalau tidak bekerja keras? Dari mana semua kebutuhan hidup dapat diraih kalau bukan dengan uang?
Namun demikian, pandanganku soal materi lenyap begitu saja ketika sore itu aku menemani istriku menyantuni anak-anak yatim di sebuah panti asuhan di pinggiran kota Jakarta. Panti asuhan suram, kotor, dan penuh dengan anak-anak kurus, pucat, dan bau. Pakaian yang dikenakan mereka sudah tak layak pakai lagi. Mengapa sih istriku tidak mencari tempat santunan yang lebih bersih gitu? Yang anak-anaknya lebih manis-manis, bersih, dan beradab. Huhh... tahu begini malas deh aku nganterin!
Saat itu, acara kami bersilaturrahmi di panti asuhan sudah hampir selesai. Semua anak sudah dibagikan pakaian baru, perlengkapan sekolah, dan sejumlah buku cerita dan majalah anak-anak. Makanan, minuman, serta sejumlah uang tunai yang dititipkan kepada ibu asrama cukup untuk konsumsi sebulan panti.
Aku bersiap-siap hendak ke mobil, ketika seorang anak perempuan sebaya Salsabilla, putriku berusia tujuh tahun, takut-takut mendekatiku.
”Om....” tanyanya ragu.
”Ya, ada apa sayang?” aku mencoba ramah. Kulihat dia tidak seperti anak lainnya. Kulitnya sawo matang bersih dan wajahnya cantik. Matanya yang berbinar menunjukkan kecerdasan dan kemurnian hati.
”Om, bolehkah saya meminta sesuatu?”
”Mau minta apa lagi?” jawabku terdengar agak ketus. Aku kaget juga mendengarnya.
”Eh.... ee, maksud Om, apa lagi yang kamu butuhkan?” kucoba memperbaiki diri saat kulihat bola matanya mulai digenangi air mata.
”Bo-bolehkan sasa-saya minta se..se..suatu?” tanyanya terbata dengan suara nyaris hilang diembus angin.
”Tentu saja boleh, Sayang. Mau boneka Barbie?” aku teringat Salsa yang mengoleksi lengkap dengan rumah, pakaian, dan pernik-pernik lainnya. Tapi gadis kecil ini menggelengkan kepala.
”Hmmm..., sepatu baru mungkin?” aku mencoba mulai bermain teka-teki. Dia masih tetap menggeleng.
”Atau sebuah sepeda mini?” Tapi tetap saja dia menggeleng. Aku jadi kesal. Mau minta apa sih? Uang barangkali, omelku dalam hati.
”Apa Om enggak marah?” tanyanya takut-takut. Aku menggeleng menyejajarkan pandanganku dengan matanya sambil memegang kedua bahunya.
”Katakan sayang, mau minta apa?”
”Mmm, mmm, bolehkah saya memanggil Om, ayah?” tuturnya dengan penuh keraguan. "Saya, saya tidak pernah punya ayah. Kata Ibu Tien, kepala panti, Bapak mati ditabrak kereta api waktu saya masih di dalam perut Emak. Saya kepingin sekali punya ayah. Bolehkah saya memanggil Om, ’Ayah’?”
Duhai Allah... ada apa ini? Mengapa seorang anak panti tidak tertarik dengan benda-benda mahal yang kutawarkan kepadanya? Dia hanya ingin memanggilku Ayah. Aku tak pernah menangis. Kehidupan yang keras telah mengajariku lupa menitikkan air mata, pun saat shalat yang hanya sekali-sekali kulakukan. Itu pun saat Ramadhan dan berbuka puasa bersama para relasi dan kerabat.
Tapi saat ini hatiku terguncang hebat. Allah SWT secara telak mengalahkanku. Astaghfirullah al’-azhiim... Kupeluk dia erat-erat, ”Tentu saja sayang, kamu boleh memangilku Ayah”.
”Betul?” wajahnya menyiratkan rasa tidak percaya namun bahagia. Kami berpelukan beberapa saat.
”Ayah, bolehkah saya minta satu lagi?” aku mengangguk.
”Bolehkah saya minta foto Ayah, Ibu, dan Kakak-kakak? Saya akan kasih lihat teman-teman di sekolah bahwa saya juga punya keluarga sama seperti mereka. Boleh?”
***
thanks to Aa atas hadiah bukunya
Regards,
-Nina-