Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan

25 Juni 2009

Renungan


Ketika Tuhan menciptakan wanita, Dia lembur pada hari ke-6.
Malaikat datang dan bertanya :
"Mengapa begitu lama, Tuhan?"

Tuhan menjawab :
"Sudahkah engkau lihat semua detail yang saya buat untuk menciptakan mereka?"
"Dua tangan ini harus bisa dibersihkan, tetapi bahannya bukan dari plastik. Setidaknya terdiri dari 200 bagian yang bisa digerakkan dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan. Mampu menjaga banyak anak di saat yang bersamaan. Punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan. Dan semua dilakukannya cukup dengan dua tangan ini."

Malaikat takjub. "Hanya dua tangan? Impossible! Dan itu model standard?"
"Sudahlah, Tuhan. Cukup dulu untuk hari ini. Besok kita lanjutkan lagi untuk menyempurnakannya."

"Oh tidak. Saya akan menyelesaikan ciptaan ini karena ini adalah ciptaan favorit saya."
"Oh ya, dia juga akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan bisa bekerja 18 jam sehari."

Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita ciptaan Tuhan itu.
"Tapi engkau membuatnya begitu lembut, Tuhan?"

"Ya. Saya membuatnya lembut. Tapi engkau belum bisa bayangkan kekuatan yang saya berikan agar mereka dapat mengatasi banyak hal yang luar biasa."

"Dia bisa berpikir?" tanya malaikat.

Tuhan menjawab :
"Tidak hanya berpikir, dia mampu bernegosiasi."
Tuhan melanjutkan.
"Air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, canda, kesepian, penderitaan dan kebanggaan."

"Luar biasa jenius engkau, Tuhan." kata malaikat.
"Engkau memikirkan segala sesuatunya, wanita ciptaanMu ini sunguh menakjubkan."

"Ya, mesti. Wanita ini akan mempunyai kekuatan mempesona laki-laki.
Dia mampu menyimpan kebahagiaan dan penderitaannya sendiri.
Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit.
Mampu menyanyi saat menangis.
Menangis saat terharu, bahkan tetawa saat ketakutan.
Dia berani berkorban demi orang yang dicintainya.
Mampu berdiri melawan ketidakadilan.
Dia tidak menolak jika melihat yan lebih baik.
Dia mengorbankan dirinya untuk keluarganya.
Dia memawa temannya yang sakit untuk berobat.
Cintanya tanpa syarat.
Hanya ada satu hal yang kurang dari wanita itu..
Dia lupa betapa berharganya dia...."



taken from sebuah artikel di mading musholla FMIPA UNLAM
dedicated to everywoman in this world...
especially for my beloved Mom...



12 April 2009

Cerita Si Lumut Hijau (2)

“Aku mohon, Lumut… Percayalah padaku. Aku sadar telah diperdaya olehnya. Oleh Jamur beracun itu. Tingallah bersamaku lagi.”, Tembok bertekuk lutut di hadapan Lumut.
“Maaf Tembok, aku tak bisa. Aku sudah bahagia dengan hidupku sekarang. Dulu aku merasa terlempar seperti ranting pohon yang tercabut tanpa akar dan tanah. Tapi ketahuilah, aku kuat lebih dari yang kau kira. Aku bisa bertahan.”, seru Lumut dengan tegas.
“Aku berjanji, tidak akan mengusirmu lagi.”, kata Tembok mengiba.
“Tidak. Hanya Batu Karang lah tempat yang kuinginkan.”, lirih Lumut.
“Siapa Batu Karang itu? Dimana dia?.”, kata Tembok penasaran.
“Ah… segala sesuatu tentangnya begitu indah. Itulah yang bisa kukatakan kepadamu”, jawab Lumut penuh teka-teki.
“Aku tidak akan membiarkan kalian bersatu! Lihat saja nanti!”, balas Tembok penuh amarah.


***

Tersentak Lumut bangun.
“Segala Puji bagi-Mu, Tuhan Semesta Alam. Ini hanya mimpi….”, ucap Lumut lega.
Dari kejauhan Lumut melihat sosok Batu Karang yang masih tertidur dengan pulas. Entah berapa lama ia tertidur. Entahlah… rasanya sudah seabad... Sungguh, Bumi ini terasa berputar lebih lama tanpanya…
Lumut merindukan senyum manisnya. Tawa riangnya. Petuah bijaknya.
Ah… ia begitu indah… begitu murni…
Tak seperti Tembok yang angkuh, yang sesungguhnya terbuat dari campuran adonan pasir, kerikil, dan semen. Yang mudah saja runtuh, sekalipun kuatnya seperti Tembok Berlin yang pernah ia baca dari sebuah dongeng rakyat.
Batu karangnya begitu bersahaja, begitu kokoh, begitu kuat, namun tampak begitu hangat…
“Batu Karang… bangunlah… sesaat lagi fajar menyingsing… Aku ingin melihat sinar mentari bersamamu…” bisik Lumut perlahan…

Terinspirasi dari ‘nyanyian bunga matahari’…
thanks for the inspiration.. :)

26 Maret 2009

Ayah, berapa lama Kita dikubur ?


Awan sedikit mendung, ketika kaki kaki kecil Yani berlari-lari gembira di atas jalanan menyeberangi kawasan lampu merah Karet.
Baju merahnya yang kebesaran melambai-lambai ditiup angin. Tangan kanannya memegang es krim sambil sesekali mengangkatnya ke mulutnya untuk dicicipi, sementara tangan kirinya mencengkram ikatan sabuk celana ayahnya.
Yani dan Ayahnya memasuki wilayah pemakaman umum Karet, berputar sejenak ke kanan dan kemudian duduk di atas seonggok nisan "Hj Rajawali binti Muhammad 19-10-1915: 20- 01-1965"
"Nak, ini kubur nenekmu. Mari kita berdo'a untuk nenekmu".
Yani melihat wajah ayahnya, lalu menirukan tangan ayahnya yang mengangkat ke atas dan ikut memejamkan mata seperti ayahnya. Ia mendengarkan ayahnya berdo'a untuk Neneknya...
"Ayah, nenek waktu meninggal umur 50 tahun ya, yah?"
Ayahnya mengangguk sembari tersenyum, sembari memandang pusara Ibu-nya.
"Hmm, berarti nenek sudah meninggal 42 tahun ya, yah...?", kata Yani berlagak sambil matanya menerawang dan jarinya berhitung.
"Ya, nenekmu sudah di dalam kubur 42 tahun ... "
Yani memutar kepalanya, memandang sekeliling, banyak kuburan di sana .
Di samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut "Muhammad Zaini : 19-02-1882: 30-01-1910"
"Hmm.. Kalau yang itu sudah meninggal 106 tahun yang lalu ya, yah?".
Jarinya menunjuk nisan di samping kubur neneknya. Sekali lagi ayahnya mengangguk. Tangannya terangkat mengelus kepala anak satu-satunya.
"Memangnya kenapa ndhuk ?" kata sang ayah menatap teduh mata anaknya.
"Hmmm, ayah khan semalam bilang, bahwa kalau kita mati, lalu dikubur dan kita banyak dosanya, kita akan disiksa di neraka" kata Yani sambil meminta persetujuan ayahnya. "Iya kan, yah?"
Ayahnya tersenyum, "Lalu?"
"Iya.. Kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa 42 tahun dong yah di kubur? Kalau nenek banyak pahalanya, berarti sudah 42 tahun nenek senang dikubur.... Ya nggak, yah?" mata Yani berbinar karena bisa menjelaskan kepada Ayahnya pendapatnya.
Ayahnya tersenyum, namun sekilas tampak keningnya berkerut, tampaknya cemas ..... "Iya nak, kamu pintar," kata ayahnya pendek.

***

Pulang dari pemakaman, ayah Yani tampak gelisah Di atas sajadahnya, memikirkan apa yang dikatakan anaknya... 42 tahun hingga sekarang... kalau kiamat datang 100 tahun lagi... 142 tahun disiksa .. atau bahagia dikubur .... Lalu Ia menunduk ... Meneteskan air mata...
Kalau Ia meninggal.. Lalu banyak dosanya... lalu kiamat masih 1000 tahun lagi berarti Ia akan disiksa 1000 tahun?
Innalillaahi Wa inna ilaihi rooji'un.... Air matanya semakin banyak menetes, sanggup kah ia selama itu disiksa? Iya kalau kiamat 1000 tahun ke depan, kalau 2000 tahun lagi? Kalau 3000 tahun lagi? Selama itu ia akan disiksa di kubur. Lalu setelah dikubur? Bukankah akan lebih parah lagi?
Tahankah? padahal melihat adegan preman dipukuli massa di televisi kemarin ia sudah tak tahan?
Ya Allah... Ia semakin menunduk, tangannya terangkat, keatas bahunya naik turun tak teratur.... air matanya semakin membanjiri jenggotnya.
Allahumma as aluka khusnul khootimah.. berulang kali di bacanya DOA itu hingga suaranya serak ... Dan ia berhenti sejenak ketika terdengar batuk.
Yani.
Dihampirinya Yani yang tertidur di atas dipan Bambu. Dibetulkannya selimutnya. Yani terus tertidur.... tanpa tahu, betapa sang bapak sangat berterima kasih padanya karena telah menyadarkannya arti sebuah kehidupan... Dan apa yang akan datang di depannya...

"Yaa Allah, letakkanlah dunia di tanganku, jangan Kau letakkan di hatiku....."

taken from webkoe.net

23 Februari 2009

Cerita Si Lumut Hijau

Alkisah, hiduplah seorang lumut. Ia menamai dirinya lumut hijau. Suatu ketika, ia bertemu dengan sebuah tembok yang kokoh. Tak lama kemudian, tembok memohon kepada lumut agar tinggal disana untuk menemani hidupnya. Kemudian lumut mengiyakan dengan suka cita, dengan harapan tembok dapat melindunginya dari segala badai yang menerpa.

Hari-hari bersama tembok ia lalui dengan bahagia. Tak jarang ada badai menerjang, tapi lumut tetap bertahan. Tetapi akhirnya, lumut menyadari bahwa tembok begitu angkuh. Tembok tampak begitu menguasainya. Lumut merasa tersiksa, tapi ia mencoba terus bertahan. Sampai akhirnya, datanglah jamur yang indah, yang juga ingin tinggal disisi tembok. Perasaan lumut mengatakan bahwa jamur yang terlihat indah itu sebenarnya sangat beracun. Entah kenapa ia begitu yakin… Tapi tembok sepertinya tidak menyadari.. Lumut sangat takut. Takut kehilangan pegangan.. Dan akhirnya, kekhawatirannya terjadi. Tak lama berselang, tembok mengusirnya dengan mengatakan : 

“Pergilah dari sini! Aku sudah tidak memerlukanmu lagi, lumut jelek! Aku sudah memiliki jamur yang indah! Kuharap kau menemukan tempat lain untuk bersandar!”.
Lumut begitu sedih… Ia bingung kemana harus pergi…
Lumut terombang-ambing di samudera yang luas, tanpa tempat untuk berpegangan. Hanya alga, ikan-ikan kecil, serta Tuhan Semesta Alam yang menemani setiap langkahnya.

Hari berganti hari… Minggu berganti minggu.. Bulan berganti bulan… Lumut hijau sudah tak sehijau dulu. Tubuhnya menguning. Hidupnya hampa. Akhirnya, dari kejauhan ia melihat ada sebuah batu karang di ujung sana. Batu karang yang begitu kokoh, yang berdiri dengan gagahnya. Dalam keputusasaan lumut, ia melihat batu karang tersenyum kepadanya. Tertatih-tatih lumut berlari. Berlari dan terus berlari... mendekatinya… Segala rintangan ia hadapi, hanya untuk melihat wajah batu karang yang tampak begitu bersahaja…. Dan akhirnya, batu karang sudah berada di hadapannya. Ternyata benar, ia terlihat sangat kokoh namun begitu lembut. 

Sejak saat itu lumut bisa tersenyum kembali. Warna hijau di tubuhnya mulai tampak… Ingin sekali ia mengatakan kepada batu karang “Bolehkah aku tinggal disini?”. Namun, lidahnya begitu kelu. Ia masih bimbang. Takut mengusik batu karang. Lumut hanya bisa bersabar, menunggu, berharap, dan berdoa semoga kelak batu karang meraih tangannya dan mengatakan “Tetaplah disini. Tinggallah bersamaku. Sampai ajal menjemput….”

(*backsound : andai dia tahu-Kahitna* mode : on)